About Me

Senin, 29 Juni 2015




Pengertian Mahkamah Konstitusi

Mahkamah konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah agung. Hari lahir Mahkamah konstitusi sendiri yaitu pada tanggal 13 agustus 2003 dan MK sendiri diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI dan Undang Undang nomor 24 tahun 2003 mengenai Mahkamah konstitusi.

Yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945/ Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK yaitu:

  • Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
  • Memutus Sengketa kewenangan antara lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
  • Memutus sengketa hasil Pemilihan umum
  • Memutus Pembubaran Partai Politik
  • Memberikan Putusan terhadap usulan DPR terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala negara dan wakil kepala negara[1]

 

Sejarah Mahkamah Konstitusi

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[2]

                                 

Kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK)

Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi UUMK), Kedudukan MK merupakan salah satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai penegak hukum (konstitusi) dan keadilan.

Sistem ketatanegaraan hasil reformasi adalah  era kehidupan ketatanegaraan dan politik sesudah berakhirnya rezim Orde Baru pada tgl. 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan digantikan oleh BJ Habbie atau dapat disebut juga sebagai era sistem ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945.

                               

Fungsi MK

MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) agar konstitusi (UUD 1945) dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Pejelasan Umum UUMK).

                                          

Menurut A. Mukthie fadjar menimal ada 4 fungsi konstitusi yang harus dipenuhi :

  1. fungsi transformasi (transformation function) yakni mentransformasikan hakikat kekuasaan formula-formula hukum menjadi kopetensi/ kewenangan, agar mendapat dukungan dan legitimasi sosio kultural sehingga dipatuhi.
  2. fungsi informasi(information function), dalam arti konstitusi merupakan informasi  yang dikodifikasikan mengenai hal - hal atau keadaan suatu negara.
    fungsi regulasi (regulation function), dalam hal ini konstitusi sebagai hukum yang tertinggi dalam kehidupan bernegara akan berpengaruh terhadap suatu regulasi mengenai sikap-sikap, perilaku dan harapan-harapan rakyat.
  3. fungsi kanalisasi (canalization fucntion), yakni memuat pedoman-pedoman mengenai bagaimana problem-problem hukum dan politik harus dipecahkan.

                                     

HUKUM ACARA

Hukum Acara atau hukum formil merupakan salah satu jenis norma hukum dalam kesatuan sistem norma hukum. Hukum acara mentukan berjalan atau tidaknya proses penegakan hukum dan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hukum dari suatu lembaga .

                                        

 Hukum Materiil.

 Hukum materiil tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya hukum acara yang dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam suatu proses hukum

                                         

UU NO 24 thn 2003 ttg. MK.

UUMK yang disahkan pada, tanggal 13 Agustus 2003 Sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkedudukan di ibu kota telah terbentuk dengan 9 (sembilan) orang hakim yang dilantik setelah mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 16 Agustus 2003. UU MK, disamping mengatur kedudukan dan susunan kekuasaan MK, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi yang mengatur hukum acara MK. Pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 UU MK menegaskan, bahwa MK berwenang untuk mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final perkara-perkara ketatanegaraan tertentu. Dalam menyelenggarakan peradilan yang demikian tentu saja MK harus berdasarkan pada ketentuan hukum acara, sebagaimana badan peradilan lain yang juga melaksanakan kekuasaan kehakiman.

                                              

 

WEWENANG  M.K.

Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) menggariskan wewenang MK sbb :

  1. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara  yang kewenangannya diberikan oleh UUD memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
  2. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD

 

 Pasal 10 UUMK : Wewenang secara khusus merinci sebagai berikut :

  1. menguji UU terhdap UUD Negara RI tahun 1945.
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  3. Memutus pembubaran partai politik.
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.                  
  5. MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan  tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana di maksud dalam UUD 1945.[3]

 

ASAS-ASAS HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

a. Persidangan terbuka untuk umum

Pasal 40 ayat (1) UU MK

” Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.”

 

b. Independen dan imparsial

- Kemandirian hakim yang berkaitan erat dengan imparsialitas, yaitu tidak memihak baik dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan.

- Merupakan cerminan dari pasal 2 UU MK dan pasal 33 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

 

c. Peradilan sederhana, cepat, dan murah

Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

” Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan murah”

  • Pengertian sederhana, cepat, dan murah adalah beracara dengan efisiensi yang tinggi tanpa mengorbankan ketelitian dan keadilan.
  • Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan beban negara
  •  

d. Audi et Alteram Tarem

“Hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang”

 

e. Hakim aktif juga pasif dalam persidangan

  • Mekanisme Constitutional Control digerakkan oleh pemohon dan dalam hal demikian maka hakim dikatakan pasif. Mahkamah konstitusi tidak diperkenankan menggelar perkara tanpa adanya permohonan.
  • Hakim harus aktif untuk menggali data dan keterangan yang diperlukan, bahkan dengan menyelidiki melalui risalah pembahasan undang-undang tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan di dalam pasal 11 UU MK

f. Ius Curia Novit

Pasal 16 ayat (1) UU No 4 tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman

” Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

g. Putusan final

Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. (Pasal 10 UU MK)

 

h. Praduga Rechtmatig

  • Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan serta tidak berlaku surut.
  • Akibat putusan tersebut adalah Ex Nunc, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. (Pencerminan Pasal 58 UU MK)
     

i. Pembuktian bebas

Hakim konstitusi memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian pembuktian, serta sah atau tidaknya suatu alat bukti berdasarkan keyakinannya.

 

j. Erga omnes

  • Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat para pihak dan harus ditaati   oleh siapapun (bersifat publik, berlaku kepada siapa saja).

  • Putusannya langsung dapat dilaksanakan dan tidak memerlukan keputusan-keputusan pejabat berwenang, kecuali peraturan perundang-undang mengatur lain.
     

k. Obyektivitas

Hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri atau mantan istri.[4]

 

Pengajuan permohonan atau gugatan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.

PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.

Alasan mengajukan judicial review.

Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.

Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :

  • Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
  • Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  • Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
  • Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
  • Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi

 

Pihak yang berhak mengajukan judicial review.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.

Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.

 

Putusan dan eksekusi putusan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.

Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak retroaktif (ex tunc).

Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.

Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Suriyadi.Hukum Acara Mahkamah, dalam http://suriyadiadhi.blogspot.com

 

Susi.Mahkamah Konstitusi, dalam http://susianidina.blogspot.com

 

Vjeykebot.Mahkamah Konstitusi, dalam http://vjkeybot.wordpress.com

 

Yere.Mahkamah Konstitusi, dalam http://yeremiaindonesia.wordpress.com



[1] Suriyadi.Hukum Acara Mahkamah, dalam http://suriyadiadhi.blogspot.com tanggal acces: 13 November 2013
[2] Vjeykebot.Mahkamah Konstitusi, dalam http://vjkeybot.wordpress.com tanggal acces: 13 November 2013
 
[3] Susi.Mahkamah Konstitusi, dalam http://susianidina.blogspot.com tanggal acces: 13 November 2013
[4]  Yere.Mahkamah Konstitusi, dalam http://yeremiaindonesia.wordpress.com tanggal acces: 13 November 2013
 
[5] Vjkeybot.op.cit