Pengertian Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan mahkamah
agung. Hari lahir Mahkamah konstitusi sendiri yaitu pada tanggal 13 agustus
2003 dan MK sendiri diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar NRI dan Undang
Undang nomor 24 tahun 2003 mengenai Mahkamah konstitusi.
Yang menjadi
wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C UUD NRI 1945/ Pasal 10 UU
No. 24 Tahun 2003 Tentang MK yaitu:
- Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
- Memutus Sengketa kewenangan antara lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
- Memutus sengketa hasil Pemilihan umum
- Memutus Pembubaran Partai Politik
- Memberikan Putusan terhadap usulan DPR terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala negara dan wakil kepala negara[1]
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Sejarah
berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun
2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan
Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya
Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR
menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada
tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun
2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke
MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[2]
Kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK)
Berdasarkan
Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi UUMK), Kedudukan MK
merupakan salah satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
sebagai penegak hukum (konstitusi) dan keadilan.
Sistem
ketatanegaraan hasil reformasi adalah
era kehidupan ketatanegaraan dan politik sesudah berakhirnya rezim Orde
Baru pada tgl. 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto
dan digantikan oleh BJ Habbie atau dapat disebut juga sebagai era sistem
ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945.
Fungsi MK
MK berfungsi sebagai penjaga
konstitusi (the guardian of constitution) agar konstitusi (UUD 1945)
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi (Pejelasan Umum UUMK).
Menurut A. Mukthie fadjar
menimal ada 4 fungsi konstitusi yang harus dipenuhi :
- fungsi transformasi (transformation function) yakni mentransformasikan hakikat kekuasaan formula-formula hukum menjadi kopetensi/ kewenangan, agar mendapat dukungan dan legitimasi sosio kultural sehingga dipatuhi.
- fungsi informasi(information function), dalam arti konstitusi merupakan informasi yang dikodifikasikan mengenai hal - hal atau keadaan suatu negara.fungsi regulasi (regulation function), dalam hal ini konstitusi sebagai hukum yang tertinggi dalam kehidupan bernegara akan berpengaruh terhadap suatu regulasi mengenai sikap-sikap, perilaku dan harapan-harapan rakyat.
- fungsi kanalisasi (canalization fucntion), yakni memuat pedoman-pedoman mengenai bagaimana problem-problem hukum dan politik harus dipecahkan.
HUKUM ACARA
Hukum Acara atau hukum formil
merupakan salah satu jenis norma hukum dalam kesatuan sistem norma hukum. Hukum
acara mentukan berjalan atau tidaknya proses penegakan hukum dan pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hukum dari suatu lembaga .
Hukum Materiil.
Hukum materiil tidak akan dapat dilaksanakan
dengan baik tanpa adanya hukum acara yang dipahami dan dilaksanakan oleh semua
pihak yang terkait dalam suatu proses hukum
UU NO 24 thn 2003 ttg. MK.
UUMK yang
disahkan pada, tanggal 13 Agustus 2003 Sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang
berkedudukan di ibu kota telah terbentuk dengan 9 (sembilan) orang hakim yang
dilantik setelah mengucapkan sumpah jabatannya pada tanggal 16 Agustus 2003. UU MK, disamping mengatur kedudukan dan susunan kekuasaan MK, pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi yang mengatur hukum acara MK. Pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 UU MK menegaskan, bahwa MK
berwenang untuk mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final perkara-perkara ketatanegaraan tertentu. Dalam
menyelenggarakan peradilan yang demikian tentu saja MK harus berdasarkan pada
ketentuan hukum acara, sebagaimana badan peradilan lain yang juga melaksanakan
kekuasaan kehakiman.
WEWENANG M.K.
Pasal 24C ayat (1) dan ayat
(2) menggariskan wewenang MK sbb :
- MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
- MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
Pasal 10 UUMK : Wewenang secara khusus merinci
sebagai berikut :
- menguji UU terhdap UUD Negara RI tahun 1945.
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
- Memutus pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- MK wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana di maksud dalam UUD 1945.[3]
ASAS-ASAS
HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
a.
Persidangan terbuka untuk umum
Pasal 40
ayat (1) UU MK
” Sidang
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.”
b.
Independen dan imparsial
-
Kemandirian hakim yang berkaitan erat dengan imparsialitas, yaitu tidak memihak
baik dalam pemeriksaan maupun pengambilan keputusan.
- Merupakan
cerminan dari pasal 2 UU MK dan pasal 33 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
c. Peradilan
sederhana, cepat, dan murah
Pasal 4 ayat
(2) UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
” Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan murah”
- Pengertian sederhana, cepat, dan murah adalah beracara dengan efisiensi yang tinggi tanpa mengorbankan ketelitian dan keadilan.
- Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan beban negara
d. Audi
et Alteram Tarem
“Hak yang
sama untuk didengar keterangannya secara berimbang”
e. Hakim
aktif juga pasif dalam persidangan
- Mekanisme Constitutional Control digerakkan oleh pemohon dan dalam hal demikian maka hakim dikatakan pasif. Mahkamah konstitusi tidak diperkenankan menggelar perkara tanpa adanya permohonan.
- Hakim harus aktif untuk menggali data dan keterangan yang diperlukan, bahkan dengan menyelidiki melalui risalah pembahasan undang-undang tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan di dalam pasal 11 UU MK
f. Ius
Curia Novit
Pasal 16
ayat (1) UU No 4 tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman
” Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
g. Putusan
final
Mahkamah
konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final. (Pasal 10 UU MK)
h. Praduga Rechtmatig
- Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan serta tidak berlaku surut.
- Akibat putusan tersebut adalah Ex Nunc, yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. (Pencerminan Pasal 58 UU MK)
i.
Pembuktian bebas
Hakim
konstitusi memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian, penilaian pembuktian, serta sah atau tidaknya suatu alat bukti
berdasarkan keyakinannya.
j. Erga
omnes
- Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun (bersifat publik, berlaku kepada siapa saja).
- Putusannya langsung dapat dilaksanakan dan tidak memerlukan keputusan-keputusan pejabat berwenang, kecuali peraturan perundang-undang mengatur lain.
k.
Obyektivitas
Hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri atau mantan istri.[4]
Pengajuan permohonan atau gugatan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa
pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun
permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan
yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak
disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui
gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat
dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi
kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua
terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari
suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun
2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat
produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru
dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran
hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
Alasan mengajukan judicial review.
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang
MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum
keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun
1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan
permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan
tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan
Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang
memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat
dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
- Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
- Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
- Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
- Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
- Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi
Pihak yang berhak mengajukan judicial review.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil
disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok
masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok
masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat
menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian
UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki
kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua
orang.
Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap
berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila
semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya
dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan
oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah
perkara yang masuk.
Putusan dan eksekusi putusan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila
dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat
TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan
perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang
yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan
untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan
atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan
pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan
atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya
secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali
persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap
inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun
MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak
pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc) atau berdampak
retroaktif (ex tunc).
Dalam hal pencabutan putusan secara extunc, complaint
individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum
(erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan
administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan.
Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan
hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi
dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya
putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa
dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar
dari putusan tersebut.[5]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suriyadi.Hukum Acara Mahkamah, dalam http://suriyadiadhi.blogspot.com tanggal acces: 13 November 2013
[2] Vjeykebot.Mahkamah Konstitusi, dalam http://vjkeybot.wordpress.com tanggal acces: 13 November 2013
[4] Yere.Mahkamah Konstitusi,
dalam http://yeremiaindonesia.wordpress.com tanggal acces: 13 November 2013
[5] Vjkeybot.op.cit